Menjadi guru pada abad ke-21 di Indonesia bisa jadi sangat menyenangkan bagi sebagian pribadi terutama yang tinggal di kota besar. Gaji besar, berbagai macam tunjangan dan fasilitas, kemudahan administrasi profesi tanpa pungli, menjadikan profesi guru banyak diantri oleh generasi muda. Namun bagi sebagian pribadi profesi guru bisa menjadi neraka yang menjerumuskan masa depannya.
Pendidikan modern menuntut seorang guru untuk cepat mengikuti perubahan, termasuk perubahan teknologi, strategi maupun kebijakan pemerintah. Dukungan teknologi menjadi syarat mutlak agar seorang guru tidak ketinggalan informasi. Bagi guru yang tinggal di kota, tentu tuntutan ini hanya berkorelasi dengan dana. Sepanjang tersedia dana yang sudah didukung oleh pemerintah melalui berbagai tunjangan, maka kemajuan teknologi dan informasi pasti dapat dikejar. Berbeda dengan mereka yang berada di daerah, apalagi daerah terpencil, tunjangan ganda karena bertugas di tempat terpencil tidak serta merta membuat seorang guru dapat begitu saja mengikuti perkembangan jaman. dengan demikian, kemudahan yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk pengurusan administrasi profesi hanyalah mimpi belaka.
Tantangan yang dapat mencelakakan seorang guru saat ini adalah mengubah pola pembelajaran mengikuti kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan penggantian kurikulum, tata-cara, mengajar, dan administrasi yang dapat menenggelamkan guru. Dari pihak luar, orang tua yang terlalu banyak campur tangan karena era keterbukaan pendidikan justru malah menambah repot proses pembelajaran. Guru di lapangan dihadapkan kepada permasalahan karakter anak. Problem paling mengemuka adalah pendidikan karakter usia dini, SD sampai SLTP. Anak rata-rata memiliki karakter manja di rumah, ini terjadi karena rata-rata kemakmuran bangsa Indonesia sudah jauh melampaui 5-10 tahun yang lalu. Hampir setiap keinginan anak dapat terpanuhi. Anak usia SD rata-rata telah memiliki atau setidaknya mampu menggunakan gadget. informasi mengalir begitu deras tanpa kontrol orang tua. Terlebih anak yang diberi gadget sendiri biasanya orang tuanya selalu berpikir praktis dan instan karena tidak mau terganggu kesibukannya mencari uang. Anak menjadi kurang terawasi, sehingga karakternya menjadi kurang terbentuk saat di rumah. Karakter kedisiplinan, rasa hormat, kerja keras menjadi sangat minim. Saat di sekolah anak dengan karakter demikian biasanya juga sulit dibentuk karena sudah terbiasa di rumah. Jika bekerja secara kelompok atau sedang bermain bersama, anak dengan karakter demikian sering mau menang sendiri. Sulit untuk berbagai. Saat diperingatkan guru, biasanya hanya masuk telinga kanan, keluar ke telinga kiri. Hal demikian sering membuat guru kewalahan dan kehabisan akal untuk meluruskan karakter. Dukungan yang minim dari orang tua, atau bahkan perlawanan yang kontra produktif sering menjadi kendala bagi seorang guru untuk mendidik karakter siswanya.
Saat di undang dalam rangka hari pendidikan nasional Mei 2016 di acara "
Sentilan-Sentilun" Metro TV, Anies Baswedan mencontohkan pendidikan yang luar biasa di negara Finlandia dan Australia. Beliau mengatakan bahwa sekolah harus menjadi tempat belajar yang menyenangkan bagi anak-anak terutama di usia pendidikan dasar. Menurut beliau sebenarnya konsep pendidikan yang menyenangkan di Finlandia dan Australia itu telah 80 tahun sebelumnya digagas oleh Ki Hajar Dewantara dengan mendirikan Taman Siswa. Ki Hajar tidak pernah mendirikan sekolah, melainkan taman belajar, Tempat yang menyenangkan untuk menimba ilmu.
Pendidikan Abu-abu
|
Foto: motivatorgurubengkayang.blogspot.com |
|
|
Pendidikan saat ini mengharuskan para guru untuk berlaku halus. Kata "tidak boleh" dilarang digunakan dalam proses pembelajaran karena konon akan mematikan daya kreatifitas anak kata tidak boleh harus diganti kata maaf. Sebagai contoh, jika anak memukul temannnya, maka guru era lama akan mengatakan "memukul temanmu itu tidak boleh, karena bisa sakit" maka di dunia pendidikan modern akan diganti dengan "maaf, memukul temanmu membuatnya sakit". Tentu kalimat tersebut hanya contoh. Pada kalimat pertama, hubungan sebab akibat sangat jelas, jika orang dipukul dapat mengakibatkan sakit. pada kalimat yang kedua, kalimat tersebut mengandung arti yang kurang jelas. Bagi orang yang telah berjalan logikanya, kalimat ke dua dapat dibantah dengan kalimat "terus kalau sakit memangnya kenapa?" jika diteruskan perdebatan akan muncul pernyataan kembali "kamu mau sakit dipukul begitu?" perpanjangan perdebatan dapat diteruskan "kalau saya berani sakit apakah dia berani membalas?"
Dalam pendidikan modern anak dibiarkan mengembagkan logikanya sendiri, sedangkan guru hanya berlaku sebagai pendamping. Demikianpun idealisme kurikulum 2013 yang oleh menteri pendidikan Anies Baswedan dihentikan penggunaanya tersebut. Guru hanya pendamping siswa, siswa didorong untuk berksplorasi sendiri.
Di Finlandia negara yang memiliki peringkat pendidikan tertinggi di dunia, dalam satu kelas guru menangani tidak lebih dari 15 siswa. Bahkan di beberapa video yang beredar rata-rata kelas pendidikan usia dini di Finlandia hanya berisi 7-8 siswa. Pendidikan dasar dimulai sejak anak berumur 7 tahun, usia di bawah 7 tahun tidak diperbolehkan bersekolah. Kalaupun mereka dikirim ke sebuah lembaga pendidikan, mereka hanya dibimbing untuk mengembagkan kemampuan motorik dengan bermain. Guru wajib bergelar master pendidikan, namun tidak pernah mengeluarkan uang untuk meraih gelarnya. Pendidikan master di Finlandia sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Bandingkan dengan UKG dan Inppasing. Guru finlandia rata-rata hanya mengajar hanya selama 4 jam per hari di dalam kelas, dengan gaji tertinggi dibandingkan pekerja dan profesional lain. Guru di Finaldia tidak perlu tenggelam dalam segala macam administrasi pembelajaran yang justru membuat guru tidak bisa mengajar dan berkembang. Dan yang paling penting, guru di tingkat dasar tidak pernah dipusingkan dengan soal ujian dan kisi-kisi.
Banyak orang tua murid yang menghindar saat diajak berpartisipasi dana di dunia pendidikan. Saat sekolah membutuhkan dana, banyak orang tua murid selalu berkilah kebutuhan yang lain lebih penting dan menghabiskan uang. Tentu saja kebutuhan itu sebenarnya hanya uang bensin dan biaya berlibur, uang pulsa membeli perangkat elektronik baru dan seterusnya. Sementara saat anaknya mendapat masalah di sekolah, dan guru berusaha untuk menengahi, orang tua dipastikan ikut campur. Orang tua modern di Indonesia sering ikut mengatur sekolah, berapa jumlah PR yang harus diberikan, berapa jumlah soal yang harus dipakai ujian, sejauh apa bobot soal, apa kegiatan yang harus dilakukan siswa. Sudah menjadi kebiasaan di sekolah terutama di perkotaan bahwa orang tua lebih memiliki peran ketimbang guru. banyak usulan yang harus dilaksanakan tanpa mau tahu berapa dan darimana biaya didapatkan. Ini sering terjadi di sekolah-sekolah perkotaan atau pinggiran perkotaan. Orang tua merasa lebih tahu soal pendidikan sehingga kadang memaksakan kemauannya meskipun sering kemauan tersebut sulit diterapkan pada sekolah yang bersangkutan. Jika terjadi demikian, maka konflik antara sekolah dan orang tua akan semakin sering terjadi. Hal yang memprihatinkan, konflik-konflik demikian sering menjadikan guru sebagai korban.
Tak sedikit guru yang dipenjarakan dan akhirnya kehilangan mata pencaharian hanya karena hal sepele seperti menjewer atau mencubit murid bandel yang tidak bisa dibentuk. Mengikuti pola pendidikan barat, mestinya juga melongok kemampuan sendiri terlebih dahulu. Tidak semua unsur dapat diterapkan dengan gampang di Indonesia. Selain perbandingan dunia pendidikan kita dengan Finlandia diatas, kultur budaya kita sangat jauh berbeda dengan bangsa-bangsa yang sudah mapan. Budaya "waton ngeyel", suka debat kusir dan tidak memiliki disiplin menjadikan sistim pendidikan kolonial masih cocok diterapkan di sebagian besar lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan negeri. Budaya menyerobot lampu merah, melintas jalur berdebat berpanjang-panjang belum luntur dari keseharian bangsa kita. Bangsa kita hanya terbiasa takut dengan ancaman. Yang tidak menerobos lampu merah bukan berarti mereka taat peraturan, namun bisa dipastikan mereka takut di tilang atau tertabrak kendaraan dari arah lampu hijau yang tidak terlihat. Selama budaya melanggar peraturan dicontohkan oleh para pemimpin kita maka pembenahan dunia pendidikan juga akan selalu memakan korban.
Comments
Post a Comment